Pematang Siantar IJeNews.id – Bawaslu Kota Pematang Siantar diminta untuk tegas melakukan penertiban Alat Peraga Kampanye (APK), yang melanggar aturan diluar jadwal kampanye.
Hal telah diatur sesuai dengan Regulasi Peraturan Komisi Pemilihan Umum(PKPU) nomor 15 tahun 2023, tentang kampanye Pemilihan Umum 2024, yang telah terbit pada bulan Juli 2023. Dan dalam aturannya, kampanye baru akan dimulai pada 28 November 2023.
Ada beberapa ruang kosong yang tidak boleh dibiarkan agar keadilan pemilu tetap terjaga.
Seperti pada Pasal 79 Peraturan KPU Nomor 15 tahun 2023, menyatakan bahwa, peserta pemilu dilarang mengungkapkan citra diri, identitas, ciri-ciri khusus atau karakteristik partai politik peserta pemilu dengan menggunakan metode penyebaran bahan kampanye pemilu kepada umum. Pemasangan alat peraga kampanye pemilu di tempat umum atau media sosial yang memuat tanda gambar dan nomor urut partai politik di luar masa kampanye.
Hal itu disampaikan Muh Syafi’i Siregar
Koordinator Kota Pematangsiantar Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD),Rabu(30/8/2023).
Menurutnya, Ada beberapa metode kampanye yang harus di lakukan yakni
a. pertemuan terbatas;
b. pertemuan tatap muka;
c. penyebaran bahan Kampanye Pemilu kepada umum;
d. pemasangan alat peraga Kampanye Pemilu di tempat umum;
e. Media Sosial;
f. iklan media massa cetak, media massa elektronik, dan Media Daring;
g. rapat umum;
h. debat Pasangan Calon tentang materi Kampanye Pemilu Pasangan Calon; dan
i. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye Pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut Syafi’i menjelaskan, Dalam melakukan pendekatan tersebut ke masyarakat pemilih, Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum mengatur dua jalur. Yakni, jalur sosialisasi atau pendidikan politik dan jalur kampanye.
“Peserta pemilu dalam melakukan sosialisasi atau pendidikan politik di internal partai politik diatur dengan dua metode, yaitu pemasangan bendera partai politik dan nomor urutnya, serta pertemuan terbatas dengan memberitahukan secara tertulis kepada penyelenggara pemilu sesuai tingkatan paling lambat satu hari sebelum kegiatan”, terangnya.
Begitu pun, kata Syafi’i, dalam melakukan sosialisasi atau pendidikan politik tersebut, peserta pemilu diberikan syarat yang cukup ketat sehingga tidak melampaui batas yaitu masuk ke dalam kategori kampanye.
Maka, Penertiban untuk tidak menyebarkan bahan kampanye di tempat umum sekaligus di media sosial. Dengan maksud agar kegiatan pendidikan politik benar-benar bernilai deliberatif atau mempertimbangkan pilihan pilihan kampanye. Dalam arti, pendidikan politik diwujudkan dengan cara pertemuan tatap muka sehingga komunikasi berjalan dua arah tanpa batas.
“Percakapan langsung model ini dapat mendekatkan fungsionaris partai politik dengan anggota dan peserta yang hadir sebagai pemilik suara. Perbincangan untuk menyusun kontrak dan transaksi politik dapat dikembangkan untuk membangun masa depan”, imbuh Syafi’i.
Seharusnya, Parpol melakukan deliberasi atau proses mempertimbangkan pilihan-pilihan yang ada dengan teliti, saksama, dan melibatkan semua pihak, yang diinginkan melalui pertemuan terbatas. Maka masa kampanye yang hanya berjalan 75 hari, menjadi puncak dalam membangun kontrak politik secara optimal. Kalaupun pada masa kampanye nanti, peserta pemilu memaksimalkan alat peraga kampanye, setidaknya dalam masa pra kampanye telah didahului dengan pertemuan tatap muka yang intensif.
Syafi’i menilai bahwa kenyataan yang terjadi lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Pasalnya Pendekatan partai politik peserta pemilu bersama dengan bakal calonnya mayoritas ditunjukkan dengan pemasangan alat peraga kampanye.
“Tidak sulit bagi kita untuk menemukannya, entah itu billboard, baliho, spanduk, poster, stiker, atau alat peraga sejenis yang dipasang di pinggir jalan, pepohonan, atau tempat strategis lainnya sehingga mudah dipandang mata”, jelasnya.
Tampak para peserta memasangnya dengan berbagai variasi dan ukuran. Alat peraga tersebut jelas memuat unsur-unsur yang dilarang. Karena memuat nama, foto, visi-misi, dan daerah pemilihan. Lokasi pemasangannya pun berada di tempat publik, jalan umum, dan kawasan milik pribadi yang seringkali tidak mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ia juga menuturkan, Hasil pemantauan kordinator kota Pematangsiantar Akademi Pemilu dan Demokrasi M.Syahfii Siregar membuktikan, alat peraga kampanye (APK) yang memenuhi unsur kampanye sebelum waktunya sudah tampak di 8 kecamatan. Alat peraga tersebut mengandung unsur kampanye yang dilarang untuk dipasang sebelum masa kampanye.
Bawaslu kota Siantar diperlukan penegakan hukum yang kuat untuk menerapkan aturan yang ketat. Perlu keberanian yang tegas untuk mendorong partai politik peserta pemilu melakukan pendidikan politik yang bermutu. Dengan menegakkan hukum bagi pelanggar sesuai peraturan yang berlaku.
Partai politik sebagai peserta pemilu melakukan pendidikan politik yang berkualitas dimulai dengan menertibkan semua alat peraga kampanye. Tidak ada lagi alat peraga yang dilarang masih terpasang. Yang ada hanya bendera partai politik dengan nomor urut dan diletakkan di tempat-tempat yang diperbolehkan.
“Bawaslu kota Siantar adalah penanggung jawab utama dan pertama dalam penertiban alat peraga yang melanggar. Bunyi Peraturan KPU tentang metode sosialisasi atau pendidikan pemilih yang hanya pemasangan bendera dan pertemuan terbatas menunjukkan batasan sekaligus larangan bagi metode lainnya. Larangan bagi metode lainnya bukan tidak boleh dilakukan, tetapi dilaksanakan nanti setelah masuk masa kampanye. Itulah yang dimaksud dengan pelanggaran kampanye di luar jadwal,” tuturnya.
Oleh karena itu, pengawas pemilu wajib memiliki nyali untuk menjadikan temuan dan menuangkan dalam dugaan pelanggaran dengan menyertakan bukti dan kelengkapan informasi. Keberanian Bawaslu untuk melakukan penertiban dapat berkoordinasi dengan aparatur pemerintah daerah jika pelanggaran terkait dengan undang-undang lainnya atau memiliki keterbatasan sarana untuk menertibkannya.
Sementara pada Pasal 492 UU nomor 7 tahun 2017 berbunyi : Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU kab/Kota, untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama I (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)
Inilah yang menjadi dasar hukum bagi penegak demokrasi pemilu di kota pematangsiantar. Efektivitas menegakkan aturan tentang larangan kampanye diwujudkan dengan upaya penindakan. Dalam keadaan di mana alat peraga kampanye yang sudah dipasang di mana-mana, tindakan penanganan pelanggaran adalah solusinya. Pencegahan paling optimal dalam kepatuhan kegiatan sebelum masa kampanye adalah menghukum dan menertibkan pelanggarannya.
“Tertibkan semua alat peraga yang melanggar dan Pastikan bahwa peraturan tidak hanya ada dalam tulisan, atau surat ke partai politik demi menunjukkan bahwa larangan itu berdampak pada hukuman. Sekaligus untuk membuktikan slogan pengawas pemilu yang sering diteriakkan –bersama Rakyat awasi pemilu, bersama Bawaslu tegakkan keadilan pemilu,”tutup Syafi’i.(Red/Tim)