Jakarta| jenews.id
Ketua Dewan Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) Din Syamsuddin menyoroti putusan MA atas gugatan Rachmawati Soekarnoputri terkait Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 yang tidak akan mempengaruhi hasil Pilpres 2019. Din mengatakan kejadian tersebut merupakan penanda bahwa ada yang salah dalam kehidupan politik bangsa Indonesia.
“Walaupun menurut pakar hukum tadi tidak berlaku surut dan tidak membatalkan keputusan pengangkatan dan pelantikan presiden wakil presiden, yang penting adalah sejarah kebangsaan kita, sejarah politik Indonesia pernah mencatat bahwa ada noktah hukum yang harus dikoreksi, bahwa itu akan berlangsung berlaku untuk masa depan atau tidak,” kata Din dalam diskusi virtual bertajuk ‘Putusan MA tentang Keputusan KPU Tahun 2019: Apa Implikasi Hukum & Politiknya?’ pada Kamis (9/7/2020).
“Namun catatan ini membawa kita pada sebuah refleksi bahwa ada something wrong di tubuh bangsa ini, ada sesuatu yang salah dalam kehidupan politik nasional kita,” sambungnya.
Menurut Din, situasi yang terjadi saat ini terjadi akibat masyarakat Indonesia tidak benar-benar berpegang pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara konsisten. Menurut Din, Pancasila dan UUD 1945 adalah sebuah tafsir asli dan sah.
“Pada hemat saya, apa yang terjadi sekarang ini adalah karena kita tidak berpegang secara konsisten kepada nilai-nilai dasar yang menjadi kesepakatan para pendiri bangsa, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang saya berpendapat konstitusi itu adalah tafsir autentik dari cita-cita nasional yang telah diletakkan oleh para pendiri bangsa, the founding fathers and mothers dari bangsa Indonesia ini,” ujar Din.
Din juga mengatakan ada hikmah yang dapat diambil dari peristiwa terkait putusan MA tersebut. Menurutnya, hal ini bukan hanya menyangkut aspek hukum formal semata, tapi juga menyangkut aspek legalitas dan legitimasi moral politik.
“Kita mengambil hikmah dari peristiwa putusan MA ini. Tadi disebut lebih berhubungan bukan sekadar lagi dari hukum formil-materiil semata, tapi lebih menyangkut legitimasi politik dan legitimasi moral. Dan inilah yang hilang dari tubuh bangsa ini. Ketika nilai-nilai moral itu telah delete, tereliminasi,” tutur Din.
Dalam diskusi yang sama dengan Din, pakar menjelaskan hukum tidaklah berlaku mundur karena putusan itu diumumkan setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024. Guru besar UI Topo Santoso menyebut putusan itu tidak mempengaruhi hasil Pilpres 2019.
“Maknanya Pasal 3 ayat 7 PKPU itu dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, yaitu UU 7 Tahun 2017. Tapi bagaimana implikasinya dengan penetapan pasangan calon? Ya sudah selesai penetapan pasangan calon. Dia (putusan MA) berjalannya ke depan,” jelas Topo dalam paparannya.
“Sementara pilpresnya, penetapan pasangan calonnya, sudah dilaksanakan. Jadi kalau ke depan ada pemilihan presiden lagi, baru itu PKPU 5 2019 tadi yang sudah dinyatakan Pasal 3 ayat 7-nya tidak sah, itu berlaku,” sambungnya.
Sebelumnya diberitakan, Rachmawati Soekarnoputri menang melawan KPU di Mahkamah Agung (MA) terkait Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum. Putusan ini diketok oleh ketua majelis Supandi pada 20 Oktober 2019 dan baru dipublikasi pekan ini.
“Mengabulkan permohonan pengujian hak uji materiil dari Para Pemohon: 1. RACHMAWATI SOEKARNOPUTRI, 2. ASRIL HAMZAH TANJUNG, 3. DAHLIA, 4. RISTIYANTO, 5. MUHAMMAD SYAMSUL, 6. PUTUT TRIYADI WIBOWO, 6.EKO SANTJOJO, 7. HASBIL MUSTAQIM LUBIS untuk sebagian,” demikian bunyi putusan MA yang dikutip detikcom, Selasa (7/7/2020).
“Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,” sambung majelis.