Pematangsiantar| Jenews.id – Ilustrasi sederhana bergambar Pulau Sumatra dengan tulisan “Kekayaan Sumatra milik nasional. Bencananya? Tidak.” bukan sekadar karya visual. Ia adalah tuduhan moral sekaligus kritik hukum atas wajah pengelolaan sumber daya alam Indonesia hari ini.
Sumatra selama puluhan tahun menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Tambang, perkebunan, hutan, dan energi dieksploitasi atas nama kepentingan nasional. Namun ironi muncul ketika banjir, longsor, kebakaran hutan, dan krisis ekologis datang silih berganti: masyarakat lokal dipaksa menanggung akibatnya sendiri.
Pertanyaannya sederhana namun keras: di mana negara ketika bencana datang?
Negara Hadir Saat Menghitung Devisa, Hilang Saat Rakyat Tenggelam
Secara konstitusional, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun praktik di lapangan menunjukkan pembacaan pasal ini kerap berhenti pada satu hal: hak mengambil manfaat, bukan kewajiban melindungi.
Eksploitasi sumber daya alam berskala besar terus berjalan, sering kali dengan dalih investasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun ketika daya dukung lingkungan runtuh dan bencana terjadi, negara justru hadir setengah hati—datang terlambat, memberi bantuan darurat, lalu pergi tanpa pemulihan serius.
Ini bukan sekadar persoalan kebijakan, tapi persoalan pelanggaran hukum secara struktural.
Negara Berpotensi Lalai Secara Hukum
Menurut Gusti Ramadhani, S.H., CLE, praktisi hukum dari REKAN JOEANG LAW OFFICE, ilustrasi tersebut menyentil inti persoalan hukum lingkungan di Indonesia.
“Dalam kerangka hukum, bencana ekologis yang berulang tidak bisa lagi disebut sebagai takdir alam. Ia adalah konsekuensi logis dari kebijakan dan pembiaran. Negara bisa dinilai lalai menjalankan kewajibannya,” tegasnya.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan tegas menyatakan bahwa negara wajib menjamin hak setiap warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kegagalan mencegah kerusakan, menurutnya, adalah bentuk pelanggaran hak konstitusional warga negara.
“Jika izin dikeluarkan secara serampangan, pengawasan lemah, lalu bencana terjadi, itu bukan sekadar kesalahan teknis. Itu bisa masuk ke ranah pertanggungjawaban hukum negara,” ujarnya.
Kekayaan Dinasionalkan, Risiko Dideregionalisasi
Fakta yang tak terbantahkan, keuntungan dari sumber daya alam Sumatra mengalir ke pusat dalam bentuk penerimaan negara, dividen, dan devisa. Namun biaya sosial dan ekologisnya—rumah hanyut, sawah rusak, udara beracun—ditinggalkan di daerah.
“Ini praktik tidak adil. Kekayaan dinasionalisasi, tapi risikonya diregionalisasi. Padahal hukum tidak mengenal pembagian tanggung jawab setimpang seperti itu,” kata Gusti.
Menurutnya, negara tidak boleh lari dari tanggung jawab dengan alasan otonomi daerah atau faktor alam. Ketika izin, konsesi, dan kebijakan ditentukan secara terpusat, maka tanggung jawab hukumnya juga harus bersifat nasional.
Kritik Seni yang Menjadi Dakwaan Publik
Ilustrasi yang viral ini menjadi semacam dakwaan publik terhadap model pembangunan yang abai pada keadilan ekologis. Ia menampar nurani pembuat kebijakan: tidak cukup hanya berbicara pertumbuhan ekonomi, sementara daerah penghasil dikorbankan.
“Jika negara ingin terus mengambil kekayaan Sumatra atas nama nasional, maka negara juga wajib hadir penuh saat bencana terjadi. Bukan sekadar bantuan, tapi pertanggungjawaban hukum dan pemulihan nyata,” tutup Gusti.
Jika tidak, maka kritik dalam ilustrasi itu akan semakin relevan: Sumatra hanya milik nasional saat kaya, tapi ditinggalkan saat terluka.(TIM)













