Pematangsiantar l Jenews.id, Hebohnya informasi penahanan Kadis Perhubungan kota Pematangsiantar membuat masyarakat Pematangsiantar bertanya – tanya, bahkan membuat praktisi hukum turut heran. Seperti Gusti Ramadhani, SH. CLE turut angkat bicara soal penahanan Julham tersebut. Ia menyampaikan beberapa pendapat dalam statemennya kepada Jenews.id. Selasa (29/7/2025) di kafe Hitam Putih.
Dalam statemen tertulis itu, ia menyenyebutkan bahwa berdasarkan press release dari Kejaksaan Negeri Pematangsiantar tanggal 28 Juli 2025, telah dilakukan penyerahan Tersangka dan barang bukti tahap II oleh penyidik Polres Pematangsiantar dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi atas nama Drs. Julham Situmorang, M.Si., selaku Kepala Dinas Perhubungan Pematangsiantar. Perkara tersebut bermula dari pemberian dana oleh RS Vita Insani sebesar Rp. 48.600.000,- sebagai kompensasi atas izin penutupan trotoar dan area parkir tepi jalan umum. Dana tersebut diberikan dalam tiga tahap dan diserahkan secara tunai kepada staf Dishub bernama Tohom Lumbangaol yang kemudian menyerahkannya kepada Kepala Dinas Perhubungan. Dana tersebut tidak disetorkan ke kas daerah, sehingga menjadi dasar penetapan tersangka dan penahanan terhadap Kepala Dinas Perhubungan.
Ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam persoalan ini :
I. ISU HUKUM
Apakah perbuatan menerima dana dari pihak ketiga tanpa prosedur resmi, namun terkait dengan kebijakan dinas, dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 11 UU Tipikor?
II. ANALISIS HUKUM
1. Unsur Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Pasal 12 huruf (e) UU Tipikor
Pasal 12 huruf (e) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memaksa seseorang memberikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaannya dapat dikenakan pidana. Dalam konteks ini, tidak terdapat bukti bahwa Kadishub secara aktif memaksa atau mengarahkan pihak RS Vita Insani untuk memberikan kompensasi, melainkan sebagai bentuk kesepakatan non-formal di luar mekanisme retribusi daerah.
2. Ketiadaan Prosedur Administratif dan Potensi Perdata/Administratif
Fakta bahwa dana diberikan tanpa dicatat dalam sistem keuangan resmi pemerintah dan tidak ada dasar hukum pengelolaan dana kompensasi diluar retribusi resmi, menjadikan tindakan tersebut sebagai pelanggaran prosedur administrasi negara. Namun, belum cukup untuk membuktikan adanya niat jahat (mens rea) atau tujuan menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum, kecuali dapat dibuktikan bahwa dana tersebut digunakan untuk keperluan pribadi.
3. Perlu Audit APIP atau Inspektorat
Sesuai Peraturan Bersama Mendagri, BPKP, Jaksa Agung, dan Kapolri Tahun 2018, dugaan penyimpangan keuangan oleh ASN harus didahului oleh pemeriksaan APIP. Jika hasil audit menyatakan terdapat kerugian negara dan penyimpangan berat, baru proses pidana dilanjutkan.
4. Aspek Pembuktian Aliran Dana
Penting untuk dibuktikan secara forensik apakah dana kompensasi tersebut benar-benar diterima dan digunakan secara pribadi oleh Kadishub. Tanpa bukti langsung aliran dana kepada pribadi yang bersangkutan, maka konstruksi hukum pidana dapat dianggap lemah dan rawan criminalisasi.
III. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Tindakan administrasi yang tidak sesuai prosedur bukan otomatis menjadi tindak pidana korupsi tanpa bukti niat jahat dan kerugian negara.
2. Harus dibuktikan dengan jelas aliran dana dan tujuan penggunaan dana tersebut.
3. Audit internal (APIP/Inspektorat) harus menjadi langkah awal dalam menangani dugaan pelanggaran oleh ASN.
4. Jika tidak terbukti adanya pemaksaan atau pemanfaatan kekuasaan secara melawan hukum, maka penerapan Pasal 12 huruf (e) menjadi lemah.
5. Disarankan proses hukum dilakukan secara proporsional dan menjunjung asas praduga tak bersalah.
Demikian legal opinion ini disusun secara objektif dan berdasarkan pada prinsip hukum yang berlaku. Semoga dapat menjadi bahan pertimbangan yang adil dan profesional.
Kiranya pendapat ini bisa memberikan pencerarahan buat warga Pematangsiantar, ungkap Gusti. (Red)